한국문학번역원 로고

KLWAVE로고

Sign in New account

TOP

Party Wave's

Cerita dari Barang-Barang yang Ditinggalkan Pemiliknya scrap 5 download

by Ratnasari

Things Left Behind

  • Author

    Kim Saypyel 김새별

  • Publisher

  • Language

    Indonesian Bahasa Indonesia

  • Date

    2023-10-18

  • ISBN

About Reviewer 리뷰어 소개

20231018202051924267.jpg

Ratnasari

Liza Ratnasari

Founder Seventeen's Library (@17SLibrary) and Indonesia Hallyu Book Club (@idnhallyubookclub)
twitter.com/lizranan

“Kami hanyalah orang-orang yang membantu almarhum berpindah dari dunia ini ke dunia lain¹. Lewat buku ini aku ingin memperkenalkan pekerjaan ini kepada banyak orang dan melawan prasangka terhadapnya².”


Apa yang kamu pikirkan saat pertama kali mendengar jasa membereskan peninggalan orang yang sudah meninggal? Di Indonesia, hal seperti ini sangat asing karena barang-barang peninggalan kerabat sudah pasti akan dibereskan oleh keluarga sendiri. Namun, Korea Selatan memiliki jasa untuk mengurus hal-hal tersebut. Mulai dari mengurus jenazah, pemakaman, hingga membereskan barang-barang almarhum.


Lewat salah satu buku yang diterjemahkan dari penulis Korea, Things Left Behind: Hal-hal yang Kita Pelajari dari Mereka yang Sudah Tiada, menceritakan bagaimana lika-liku pekerjaan para pengurus barang-barang peninggalan dan mengungkap beragam kisah nyata dibalik kematian almarhum baik yang meninggal karena sebab natural ataupun tidak. Saat diminta membersihkan barang milik orang yang telah meninggal, kadang ditemui kasus-kasus mengejutkan seperti orang tua meninggal tanpa diketahui orang lain. Jika diperhatikan versi terjemahannya, buku ini memiliki kover dengan warna yang hangat, namun jika diperhatikan lebih teliti, desain gambarnya menunjukkan kesepian dan kesunyian. Seperti yang dirasakan oleh mereka yang meninggal dalam kesendirian. Buku ini juga sudah diadaptasi ke dalam drama Korea yang berjudul Move to Heaven dengan sepuluh episode.


Jika di Indonesia jasa tersebut masih sangat asing bahkan tidak ada, di Korea pun jasa mereka masih dipandang sebelah mata. Mati merupakan kata terlarang bagi warga Korea. Sehingga kehadiran jasa ini pun dianggap membawa sial bagi orang-orang sekitarnya. Orang-orang akan mencari-cari kesalahan untuk mengusir petugas jasa yang sedang berada di dekat mereka. Tak jarang petugas-petugas itu menerima cacian karena dianggap mengganggu, menghalangi rumah atau kendaraan lain ketika sedang parkir, bahkan diusir dari tempat makan. Padahal nantinya pun mereka akan membutuhkan jasa perusahaan tersebut.


Kim Sae Byoul dan Jeon Ae Won tak hanya menuliskan bagaimana para masyarakat memandang mereka sebagai pekerja yang tak penting, mereka juga menceritakan alasannya mendirikan perusahaan jasa dibidang ini hingga berbagai kisah pilu yang didapat dari membereskan barang-barang almarhum. Cerita yang mengawali penulis menekuni jasa ini cukup unik dan menyentuh hati. Diawali dengan pengalamannya melihat pengurus jenazah yang memperlakukan tubuh tak bernyawa tersebut dengan baik dan lemah lembut, membuat penulis ingin bekerja menjadi pengurus jenazah juga. Hingga suatu hari ia mengurus jenazah kedua orang tua seorang wanita. Wanita tersebut meminta tolong kepada penulis untuk membantu membereskan barang-barang orang tuanya karena ia masih sangat terpukul dan merasa bersalah karena terlambat mengetahui orang tuanya meninggal. Penulis menyanggupi permintaan tersebut. Hatinya pun tergerak untuk membantu orang-orang seperti wanita itu. Membantu mengurangi kesedihan keluarga yang ditinggalkan dengan mendirikan sebuah perusahaan dibidang jasa membereskan barang peninggalan almarhum.


Rata-rata pemilik dari barang yang mereka bereskan meninggal dalam kondisi kesepian. Tak ada satupun teman atau keluarga menemani di sisinya hingga nafas terakhir. Tak jarang mereka membersihkan rumah dalam kondisi yang sudah berbau sangat busuk karena jenazah baru ditemukan berhari-hari bahkan berbulan-bulan kemudian. Ada juga yang meninggal karena dibunuh oleh orang terdekat mereka. Akibat ego yang meruncing, tak ayal menciptakan tindakan ekstrem diantara korban dan tersangka.


Tak hanya para pengguna jasa yang bercerita tentang kematian si pemilik rumah, barang-barang almarhum juga menyimpan banyak cerita. Bahkan barang-barang itu lebih sanggup mengatakan isi hati si pemilik. Surat, gitar, nail art, foto, pigura, dan sebagainya telah menyampaikan kisah hidup mereka kepada para petugas jasa. Surat terakhir dari si pemilik yang tak pernah sampai ke tujuan, gitar yang menjadi mimpi tak terwujud sang pemilik, nail art yang menjadi saksi bisu bakat tersembunyi almarhum. Mereka yang terpaksa harus berhenti karena direnggut penyakit atau direnggut oleh keputusasaan dalam kesepian. Mereka yang nyawanya direnggut oleh stigma, ego, dan standar masyarakat yang semakin tak masuk akal.


Rasanya miris ketika membaca cerita para orang tua yang meninggal sendirian. Terutama mereka yang meninggal untuk diambil hartanya saja. Beberapa orang tua tetap menyimpan harta mereka untuk bekal anak-anaknya nanti walau anak-anak mereka sudah bekerja. Namun, saat para orang tua itu meninggal, mereka tetap tak acuh. Hanya menyuruh petugas jasa membereskan barang dan melaporkan jika ada harta berharga yang tertinggal. Ketika harta ditemukan, mereka akan langsung pergi tanpa mempedulikan barang-barang yang lain. Bisa dibayangkan betapa kesepiannya para orang tua itu bahkan saat mereka sudah tiada. Anak-anak mereka hanya peduli pada apa yang ditinggalkan bukan siapa yang meninggalkan.


Ada juga kisah pembunuhan yang cukup ekstrem antara ibu dan anak. Karena obsesi dan ego sang ibu terhadap nilai-nilai pelajaran anaknya semakin tinggi membuat sang anak ketakutan setiap hari. Hingga suatu hari ia memutuskan untuk membunuh sang ibu saat sedang tidur. Menikamnya berkali-kali karena takut besok sang ibu akan memarahi dan memukulinya lagi dengan tongkat golf. Bagi sang ibu, memarahi dan memukul adalah wujud kasih sayang demi masa depan sang anak. Namun, itu hanyalah ego dengan mengatasnamakan kasih sayang. Dia hanya memanfaatkan anaknya demi memuaskan dirinya sendiri³.


Kisah sebaliknya pun ada. Anak-anak yang bunuh diri karena harus mewujudkan mimpi kedua orang tuanya. Mereka yang tak mendapat kesempatan menjadi apa yang mereka inginkan karena ada harapan besar yang harus diwujudkan, karena ada stigma masyarakat yang menganggap mimpi mereka tidak normal dan tidak sesuai standar masyarakat. Mereka merasa kesepian karena beban mewujudkan mimpi yang tak diinginkan, karena tak ada yang mendengar suara mereka. Hingga saat mati pun, mereka tetap kesepian karena tak ada siapapun di sisinya.


Di atas hanyalah secuil dari kisah yang disampaikan penulis. Banyak sekali kisah-kisah almarhum yang pada akhirnya meninggal dalam kesepian. Lewat buku ini, penulis ingin menyampaikan dan mengingatkan pembaca untuk tidak lupa beristirahat dan bercerita saat lelah atau sudah tidak tahan lagi menanggung beban. Terkadang, mereka beralasan jika bercerita takut menambah beban si pendengar. Kalian bisa bercerita kepada tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater. Atau jika kalian pada posisi sebaliknya, cobalah sesekali menanyakan kabar orang tua atau teman dekat kalian. Karena sekedar pertanyaan “apa kabar?” atau pujian “kau sudah melakukan yang terbaik” dapat membantu mereka untuk bertahan satu hari lagi.


Selain mengingatkan pembaca untuk meningkatkan perhatian terhadap orang-orang terdekat, penulis juga mengisahkan kesulitan mereka berkecimpung di bidang jasa ini. Pekerjaan ini melelahkan secara fisik dan psikis karena prasangka masyarakat dan imbalan yang tidak sesuai. Meskipun para petugas sudah membereskan lokasi yang berat dengan baik, tidak ada yang mengakui jasa mereka. Beberapa kali mereka diperiksa oleh Departemen Lingkungan Hidup karena ada yang mengajukan protes tentang keberadaan mereka. Penulis pun tidak takut diperiksa karena pekerjaannya tidak melanggar apapun, namun ia merasa repot juga karena harus berulang kali menjelaskan hal yang sama. Setiap tiga atau enam bulan sekali para penulis dan karyawannya harus pindah ke tempat lain karena penduduk sekitar keberatan dengan kehadiran mereka. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah tempat di pelosok yang dikelilingi bukit. Sang penulis berkeinginan untuk memiliki kantor di tegah kota dengan papan nama yang besar dan jelas, namun kehadiran mereka di tempat kecil saja sudah membuat masyarakat tidak nyaman apalagi di tengah kota besar. Begitulah pikiran negatif orang-orang tentang kematian sangat kuat⁶. Padahal jika dilihat dari  cerita-cerita penulis, jasa ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat walau mereka tidak menyukainya. Pengguna jasa biasanya terlalu sedih hingga tak sanggup membereskan barang-barang almarhum, tidak memiliki waktu, atau memang enggan membereskan karena merasa tidak butuh dengan kenangan-kenangan almarhum.




¹ Kim Sae Byoul dan Jeon AeWon.(2021). Things Left Behind: A Novel,trans. Anna Lee (Indonesia, Gramedia Pustaka Utama), 189.

² Ibid 190

³ Ibid, 26





Works Cited

Kim SaeByoul dan Jeon Ae Won., Things LeftBehind: A Novel. (Anna Lee, Trans). Indonesia: Gramedia Pustaka Utama,2021.

User's Reviews 리뷰

There are no reviews.

More Content Like This