-
Party Wave's
[Indonesian]Cerita dari Barang-Barang yang Ditinggalkan Pemiliknya
RatnasariINDONESIA
2023.10.18.
“Kami hanyalah orang-orang yang membantu almarhum berpindah dari dunia ini ke dunia lain¹. Lewat buku ini aku ingin memperkenalkan pekerjaan ini kepada banyak orang dan melawan prasangka terhadapnya².”
Apa yang kamu pikirkan saat pertama kali mendengar jasa membereskan peninggalan orang yang sudah meninggal? Di Indonesia, hal seperti ini sangat asing karena barang-barang peninggalan kerabat sudah pasti akan dibereskan oleh keluarga sendiri. Namun, Korea Selatan memiliki jasa untuk mengurus hal-hal tersebut. Mulai dari mengurus jenazah, pemakaman, hingga membereskan barang-barang almarhum.
Lewat salah satu buku yang diterjemahkan dari penulis Korea, Things Left Behind: Hal-hal yang Kita Pelajari dari Mereka yang Sudah Tiada, menceritakan bagaimana lika-liku pekerjaan para pengurus barang-barang peninggalan dan mengungkap beragam kisah nyata dibalik kematian almarhum baik yang meninggal karena sebab natural ataupun tidak. Saat diminta membersihkan barang milik orang yang telah meninggal, kadang ditemui kasus-kasus mengejutkan seperti orang tua meninggal tanpa diketahui orang lain. Jika diperhatikan versi terjemahannya, buku ini memiliki kover dengan warna yang hangat, namun jika diperhatikan lebih teliti, desain gambarnya menunjukkan kesepian dan kesunyian. Seperti yang dirasakan oleh mereka yang meninggal dalam kesendirian. Buku ini juga sudah diadaptasi ke dalam drama Korea yang berjudul Move to Heaven dengan sepuluh episode.
Jika di Indonesia jasa tersebut masih sangat asing bahkan tidak ada, di Korea pun jasa mereka masih dipandang sebelah mata. Mati merupakan kata terlarang bagi warga Korea. Sehingga kehadiran jasa ini pun dianggap membawa sial bagi orang-orang sekitarnya. Orang-orang akan mencari-cari kesalahan untuk mengusir petugas jasa yang sedang berada di dekat mereka. Tak jarang petugas-petugas itu menerima cacian karena dianggap mengganggu, menghalangi rumah atau kendaraan lain ketika sedang parkir, bahkan diusir dari tempat makan. Padahal nantinya pun mereka akan membutuhkan jasa perusahaan tersebut.
Kim Sae Byoul dan Jeon Ae Won tak hanya menuliskan bagaimana para masyarakat memandang mereka sebagai pekerja yang tak penting, mereka juga menceritakan alasannya mendirikan perusahaan jasa dibidang ini hingga berbagai kisah pilu yang didapat dari membereskan barang-barang almarhum. Cerita yang mengawali penulis menekuni jasa ini cukup unik dan menyentuh hati. Diawali dengan pengalamannya melihat pengurus jenazah yang memperlakukan tubuh tak bernyawa tersebut dengan baik dan lemah lembut, membuat penulis ingin bekerja menjadi pengurus jenazah juga. Hingga suatu hari ia mengurus jenazah kedua orang tua seorang wanita. Wanita tersebut meminta tolong kepada penulis untuk membantu membereskan barang-barang orang tuanya karena ia masih sangat terpukul dan merasa bersalah karena terlambat mengetahui orang tuanya meninggal. Penulis menyanggupi permintaan tersebut. Hatinya pun tergerak untuk membantu orang-orang seperti wanita itu. Membantu mengurangi kesedihan keluarga yang ditinggalkan dengan mendirikan sebuah perusahaan dibidang jasa membereskan barang peninggalan almarhum.
Rata-rata pemilik dari barang yang mereka bereskan meninggal dalam kondisi kesepian. Tak ada satupun teman atau keluarga menemani di sisinya hingga nafas terakhir. Tak jarang mereka membersihkan rumah dalam kondisi yang sudah berbau sangat busuk karena jenazah baru ditemukan berhari-hari bahkan berbulan-bulan kemudian. Ada juga yang meninggal karena dibunuh oleh orang terdekat mereka. Akibat ego yang meruncing, tak ayal menciptakan tindakan ekstrem diantara korban dan tersangka.
Tak hanya para pengguna jasa yang bercerita tentang kematian si pemilik rumah, barang-barang almarhum juga menyimpan banyak cerita. Bahkan barang-barang itu lebih sanggup mengatakan isi hati si pemilik. Surat, gitar, nail art, foto, pigura, dan sebagainya telah menyampaikan kisah hidup mereka kepada para petugas jasa. Surat terakhir dari si pemilik yang tak pernah sampai ke tujuan, gitar yang menjadi mimpi tak terwujud sang pemilik, nail art yang menjadi saksi bisu bakat tersembunyi almarhum. Mereka yang terpaksa harus berhenti karena direnggut penyakit atau direnggut oleh keputusasaan dalam kesepian. Mereka yang nyawanya direnggut oleh stigma, ego, dan standar masyarakat yang semakin tak masuk akal.
Rasanya miris ketika membaca cerita para orang tua yang meninggal sendirian. Terutama mereka yang meninggal untuk diambil hartanya saja. Beberapa orang tua tetap menyimpan harta mereka untuk bekal anak-anaknya nanti walau anak-anak mereka sudah bekerja. Namun, saat para orang tua itu meninggal, mereka tetap tak acuh. Hanya menyuruh petugas jasa membereskan barang dan melaporkan jika ada harta berharga yang tertinggal. Ketika harta ditemukan, mereka akan langsung pergi tanpa mempedulikan barang-barang yang lain. Bisa dibayangkan betapa kesepiannya para orang tua itu bahkan saat mereka sudah tiada. Anak-anak mereka hanya peduli pada apa yang ditinggalkan bukan siapa yang meninggalkan.
Ada juga kisah pembunuhan yang cukup ekstrem antara ibu dan anak. Karena obsesi dan ego sang ibu terhadap nilai-nilai pelajaran anaknya semakin tinggi membuat sang anak ketakutan setiap hari. Hingga suatu hari ia memutuskan untuk membunuh sang ibu saat sedang tidur. Menikamnya berkali-kali karena takut besok sang ibu akan memarahi dan memukulinya lagi dengan tongkat golf. Bagi sang ibu, memarahi dan memukul adalah wujud kasih sayang demi masa depan sang anak. Namun, itu hanyalah ego dengan mengatasnamakan kasih sayang. Dia hanya memanfaatkan anaknya demi memuaskan dirinya sendiri³.
Kisah sebaliknya pun ada. Anak-anak yang bunuh diri karena harus mewujudkan mimpi kedua orang tuanya. Mereka yang tak mendapat kesempatan menjadi apa yang mereka inginkan karena ada harapan besar yang harus diwujudkan, karena ada stigma masyarakat yang menganggap mimpi mereka tidak normal dan tidak sesuai standar masyarakat. Mereka merasa kesepian karena beban mewujudkan mimpi yang tak diinginkan, karena tak ada yang mendengar suara mereka. Hingga saat mati pun, mereka tetap kesepian karena tak ada siapapun di sisinya.
Di atas hanyalah secuil dari kisah yang disampaikan penulis. Banyak sekali kisah-kisah almarhum yang pada akhirnya meninggal dalam kesepian. Lewat buku ini, penulis ingin menyampaikan dan mengingatkan pembaca untuk tidak lupa beristirahat dan bercerita saat lelah atau sudah tidak tahan lagi menanggung beban. Terkadang, mereka beralasan jika bercerita takut menambah beban si pendengar. Kalian bisa bercerita kepada tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater. Atau jika kalian pada posisi sebaliknya, cobalah sesekali menanyakan kabar orang tua atau teman dekat kalian. Karena sekedar pertanyaan “apa kabar?” atau pujian “kau sudah melakukan yang terbaik” dapat membantu mereka untuk bertahan satu hari lagi.
Selain mengingatkan pembaca untuk meningkatkan perhatian terhadap orang-orang terdekat, penulis juga mengisahkan kesulitan mereka berkecimpung di bidang jasa ini. Pekerjaan ini melelahkan secara fisik dan psikis karena prasangka masyarakat dan imbalan yang tidak sesuai. Meskipun para petugas sudah membereskan lokasi yang berat dengan baik, tidak ada yang mengakui jasa mereka. Beberapa kali mereka diperiksa oleh Departemen Lingkungan Hidup karena ada yang mengajukan protes tentang keberadaan mereka. Penulis pun tidak takut diperiksa karena pekerjaannya tidak melanggar apapun, namun ia merasa repot juga karena harus berulang kali menjelaskan hal yang sama. Setiap tiga atau enam bulan sekali para penulis dan karyawannya harus pindah ke tempat lain karena penduduk sekitar keberatan dengan kehadiran mereka. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah tempat di pelosok yang dikelilingi bukit. Sang penulis berkeinginan untuk memiliki kantor di tegah kota dengan papan nama yang besar dan jelas, namun kehadiran mereka di tempat kecil saja sudah membuat masyarakat tidak nyaman apalagi di tengah kota besar. Begitulah pikiran negatif orang-orang tentang kematian sangat kuat⁶. Padahal jika dilihat dari cerita-cerita penulis, jasa ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat walau mereka tidak menyukainya. Pengguna jasa biasanya terlalu sedih hingga tak sanggup membereskan barang-barang almarhum, tidak memiliki waktu, atau memang enggan membereskan karena merasa tidak butuh dengan kenangan-kenangan almarhum.
¹ Kim Sae Byoul dan Jeon AeWon.(2021). Things Left Behind: A Novel,trans. Anna Lee (Indonesia, Gramedia Pustaka Utama), 189.
² Ibid 190
³ Ibid, 26
Works Cited
Kim SaeByoul dan Jeon Ae Won., Things LeftBehind: A Novel. (Anna Lee, Trans). Indonesia: Gramedia Pustaka Utama,2021.
-
-
Party Wave's
[Spanish]Paralelismos entre un asesino en serie y una hijastra
Solodovsky, MagaliARGENTINA
2023.10.18.
Seo Mi-Ae posee una cantidad considerable de novelas de thriller que nos dejan ver que disfruta y se encuentra a gusto en este género. Y no solo eso, sino que aquello que escribe es de una calidad sin igual: Hija única se encuentra en proceso de producción para una adaptación y la autora se encuentra escribiendo el segundo libro. Esta novela es la única (hasta el momento) que se encuentran traducidas en varios idiomas, llegando también a publicarse en español, lo cual considero una gran hazaña. Es una autora altamente reconocida habiendo ganado premios como el Concurso Literario Anual de Primavera con 30 ways to kill your husband(que tiene una obra de teatro); el Gran Premio (Mejor Largometraje) en el 26ºFestival Internacional de Cine de Animación de Annecy con My Beautiful Girl, Mary; y el Premio al misterio coreano con The Garden of a Doll.
A lo largo de Hija única podemos ver que la autora posee gran conocimiento de casos criminales, de asesinos en serie y que ha realizado investigaciones sobre cómo se comportan estas personas. Uno de los nombres que más resuena es el de Yu Yeong-cheol, un asesino en serie que asesinó entre 8 y 10 personas en el 2003 y el 2004, este caso la impulsó a escribir The Garden of a Doll. A partir de todos los datos que nos brinda Seo Mi-Ae a lo largo de la novela podemos considerarla una persona bastantemente informada, y que sabe de lo que se encuentra escribiendo, permitiéndonos confiar en ella, en sus palabras y adentrarnos de una manera más profunda en la historia. Considero que la autora nos quiere marcar ese camino, esa manera de leer la novela, y si bien uno sabe que es ficción, podría tranquilamente ser una de las tantas historias que escuchamos en los noticieros.
En esta novela podemos encontrarnos con tres personajes principales: Seong-gyeong, psicóloga forense; Lee Byeong-do, un asesino en serie; y Ha-yeong una niña de once años que ha perdido a su madre, sus abuelos y que solo busca estar con su padre. Cada uno de estos personajes le brinda a la novela un condimento especial y único que hace que, a la hora de mezclarlos y vincularlos, se genere una dinámica increíble. Los paralelismos entre Lee Byuong-do y la pequeña reflexionados por Seong-gyeong hacen que la novela se torne cada vez más espeluznante.
Lo interesante de cada uno de ellos es que vamos conociéndolos poco a poco, Seo Mi-ae no se apresura a presentarnos a los personajes, sino que en cada una de las cuatro partes en las cuales se encuentra dividida la novela, podemos ir descubriendo el gran entramado de la psiquis de cada uno de ellos. Tener la posibilidad de leer capítulos desde la perspectiva de éstos ayuda a comprender mejor la historia, a que fluya de manera armoniosa y a la vez que nos adentramos cada vez más en la oscuridad que la autora busca crear.
Considero que cada uno de ellos tiene un pasado duro, con carencias, y un presente complejo e intenso. Las diferentes facetas que se pueden ver a lo largo de la historia logran poner en duda al lector sobre lo que realmente piensa de ellos: Seong-gyeong, una psicóloga forense que es respetada y que tiene grandes conocimientos pero a la vez no puede ver la realidad que la rodea; Lee Byeong-do, un hombre con rostro inocente que solo busca ser amado pero que ha cometido grandes crímenes; y Ha-yeong, que parece ser una simple niña de once años, a veces, y otras una persona mente fría y calculadora que no parará hasta lograr lo que quiere.
No quiero dejar de mencionar otro personaje, que si bien no es principal creo que tiene un gran peso y que solo lo vemos cuando ya es demasiado tarde: Yun Jae-seong, el padre. Una persona que con su gran ausencia nos muestra el importante rol que cumple en la historia. ¡Que increíble que un personaje que tiene pocas apariciones haya tenido tanto peso para mí! Y así fue.
Si tuviera que mencionar un momento memorable creo que no podría. Considero que toda la novela se ha podido destacar en cada uno de los capítulos. Es una gran construcción, una sucesión de hechos pequeños, que parecen aislados, que generan que cada momento y situación vayan aumentando la expectativa y la tensión del lector. Y cuando todo se conecta, cuando convergen en una situación en específico, todo tiene sentido. Unologra ver que la autora ha podido presentar, expresar y compartir los hechos de la mejor manera para que el lector no pueda dejar de leer, para que se genere ese nerviosismo, sorpresa e impresión en determinados momentos. Las entrevistas, los recuerdos, las reflexiones, los descubrimientos, los momentos compartidos, los diálogos, todo ha formado parte del gran plan maestro de Seo Mi-ae.
Como he podido expresar previamente, la trama es de una de esas que se va tejiendo lentamente. Donde, si bien suceden cosas, parecería que todo va en línea recta, avanzando lentamente y de manera segura, y cuando uno menos lo espera, o cuando cree saber qué podría llegar a pasar, los personajes toman la rienda de la historia y hacen lo que ellos desean. Es que son así, sus roles como protagonistas no son los de permitir que el lector se encuentre cómodo leyendo, sino que tienen el objetivo de hacernos pensar, volver hacia atrás,preguntarnos cómo nos comportamos, cuestionarnos por qué no reaccionan como nosotros consideramos que deberían. Y eso hace que la trama se vuelva inesperada en ciertos puntos.
Me encantaría saber cómo es que la autora ha creado esta historia, cuál fue la primera escena que escribió, cómo fue desarrollando las ideas, qué personajes fueron los más complejos de plasmar. No hay nada que ha dejado al azar y aunque algunas situaciones me han parecido poco convincentes y direccionadas (como el mensaje de texto borrado), creo que es una novela que fue pensada y repensada para que todo encaja y se terminará formando un gran rompecabezas. Eso es lo que sentí en los últimos momentos, que teníamos tres grandes partes del rompecabezas que se encontraban separadas y en los últimos capítulos estos se unían y podíamos ver la gran escena final, el paisaje en que se había convertido Hija única.
Como fanática de los thrillers, esta novela es una de las primeras historias coreanas del género que leo y la verdad es que me ha gustado mucho.Tiene una manera diferente de relatar la historia y de presentar los personajes a lo que venía acostumbrada a leer. Eso me descolocó al principio porque me hizo salir de mi zona de confort, pero luego me encontré más a gusto.
En toda historia me gusta hacer conjeturas, pensar que podría pasar y ver si atino o no. Y en Hija única no hubieron momentos en los que dijera “podría suceder esto” y realmente pasara. Incluso hubo un momento en el que dejé de pensar qué podría o no pasar y solo quería leer para saber cómo es que iba a terminar la historia de estos tres personajes.
Sin lugar a duda la recomiendo para aquellas personas que buscan una historia siniestra, diferente y que te dejará pensando por varios días. Ideal Para charlar, debatir y buscar todas las personas y referencias que la autora presenta. Eso hace que uno se involucre más en la historia, que sea uno más de ellos. Que se encuentre ahí, en la celda, en la habitación donde se lleva adelante la entrevista, en la casa de nuestra protagonista.
-
-
Party Wave's
[Dutch]Een bevredigend boek over verraad en wraak
Michelle TangNETHERLANDS
2023.10.18.
Chong Chiwon is een jonge vrouw die kooklessen geeftin Won’s kitchen, na lang gewerkt te hebben in een Italiaans restaurant. Ze ondergaat liefdesverdriet in verschillende fasen van rouw: shock, verdoofd, ongeloof,ontkenning, afleiding zoeken in werk, onderdrukte woede, onderhandeling, schuldgevoel,depressie, en acceptatie. Ze ziet langzaam in dat de scheiding definitief is,ze voelt intens de pijn van het verlies, en ze probeert een leven voor te stellen zonder hem (en zijn hond). Zal het haar lukken om opnieuw te leren genieten van het leven, terwijl ze alle goede herinneringen koestert?
Het verhaal begint in de winter, met beelden van sneeuw en de hoofdpersoon in een soort van winterslaap. Ze eet haast niet en is de hele tijd slaperig. Voor een groot deel van het boek, is ze verdoofd van liefdesverdriet en kan ze niets meer proeverijen voelen, wat de doodsvonnis is voor een kok. Ze bloeit een beetje op in de lente en maakt haar voorspelling waar, dat ze weer haar volledige zelf is in de zomer. In Juli gaat namelijk het zomerseizoen van start voor restaurants met een nieuwe menukaart en ook voor haar breekt een nieuw begin aan.
Mijn Verwachtingen voor dit boek is een kijkje in de keuken van een restaurant en om nieuwe dingen te leren over voedsel en koken. Daar heeft dit boek rijkelijk aan voldaan. Ik kwam meer te weten over waarom de keukens zo krap zijn, hoe heet het kan worden, hoe het sollicitatieproces en de inkoop van ingrediënten ongeveer gaat, hoe de taken verdeeld wordt, wanneer sommige ingrediënten op zijn bestzijn, hoe druk ze het hebben, wanneer de koks een klein hapje kunnen eten, en hoe goed het is dat de koks een tijd vrij krijgen en betaald nieuwe dingen kunnen leren in het buitenland. In geuren en kleuren wordt elk ingrediënt en gerecht aan je voorgesteld, zelfs bij het beschrijven van de liefdesdaad weet de schrijfster voedsel in te verwerken. Terloops, wordt er in het boek gestrooid met feitjes en quotes over voedsel. Net zoals de hoofdpersoon, die ieder moment mooie verhalen over ingrediënten en gerechten uit de mouw kan schudden. Ook wordt bereidings- en eetwijzen en het verkrijgen van sommige ingrediënten tot in de gruwelijke details besproken. In het begin dacht ik dat het willekeurige feiten waren overeten, maar hoe verder je komt in het verhaal, hoe meer je begint te realiseren dat het kleine aanwijzingen en voortekens zijn, de ingrediënten van haar zoete wraak.
Hieronder is een korte beschrijving van de belangrijkste personages:
Chong Chiwon
De hoofdpersoon,die na verlaten te worden door haar vriend, langzaam opkrabbelt. Truffels en asperge zijn haar favoriete producten om mee te werken als kok. Ze mijmert vaak over wat liefde is. Aan de ene kant, is ze na een lange relatie zonder pardon aan de kant gezet, maar zowel Chiwon als haar oom hebben moeite om de liefde los te laten.
Han Sokchu
Veelbelovende jonge architect en ex-vriend van Chiwon. Hij bouwt het huis met een grote keuken en brandweerpaal, waar ze vroeger van droomden, maar nu niet meer voor Chiwon. Tijdens de relatie sprak hij allemaal mooie woorden, maar nu ze uit elkaar zijn, is samen eten en praten voor een seconde al te veel.
Yi Seyon
Een altijd goed gekleed ex-model met een perfect lichaam en lange flamingo benen. Ze is een oud-leerlinge van Chiwon, waarmee Sokchu vreemd ging. Daarna kregen de twee een relatie.
Yo Munju
De beste vriendin van Chiwon, die werkt bij het tijdschrift, Wine and Food. Ze heeft een slecht verleden met eten, maar Chiwon zorgde ervoor dat ze minder at, maar wel bleef eten, en in plaats van dik zo mollig werd dat mensen er blij van werden om haar te zien.
Paulie
Een Engelse Setter hond met goudkleurige vachtharen, dat van Sokchu was en tijdens de relatie,als een kind voor hen was. Aan de ene kant was hij net als Sokchu. Hoeveel Chiwon ook van hem hield en hoeveel tijd ze hebben doorgebracht, het is dom omte denken dat ze hem begrijpt en met hem kan communiceren. Aan de andere kant was hij net als Chiwon. Hij deelde hetzelfde onbegrip voor de situatie en verdriet om het verlies van hem. Later, veranderde dat in het verliezen van de beheersing en het uiten van de woede. Voor Seton was Paulie ook als Chiwon, een obstakel, dat in de weg staat van haar perfecte leven en wat ze genadeloos uit de weg ruimt.
De oma
Zij is al overleden, maar hoewel ze er fysiek niet meer is, speelt ze nog een grote rol in het leven van Chiwon door middel van herinneringen en kook- en levenslessen. Zij leerde Chiwon van eten houden.
De oom
Samen met Chiwon, is hij als jong kind bij oma opgegroeid. Hij worstelt met een alcoholverslaving,na de dood van zijn vrouw, maar herstelt zich in dezelfde periode als Chiwon.
De chef-kok van Italiaans restaurant Nove
Na de breuk, wordt Chiwon moeiteloos weer aangenomen door de chef-kok van het Italiaans restaurant Nove, waar ze haar carrière als kok startte. Ze neemt daar opnieuw haar eerste stapjes naar een nieuw leven. Nove staat voor negen, een getal dat compleet lijkt, maar het niet is. Hoewel de chef-kok jarenlang als een mentor,vaderfiguur, over Chiwon had ontfermd, kan ook hij zijn lust niet bedwingen.
Onderstaande zinnen in het boek zijn mij goed bijgebleven:
“Verliefd worden is net als iets op je hand schrijven. Hoe je ook je best doet om het te wissen, er blijven altijd sporen achter. Dus je moet zeker weten dat je dit wilt. Denk er goed over na."
- Tong, p19
Ook ik maakte me zorgen toen ik voor het eerst verliefd werd, ik besloot toen dat het gewoon mijn mooiste fout in het leven zou worden.
“Mensen met eetlust hebben de wil om te leven. …. Ik voel tegenwoordig dat ik leef als ik eet. ”
- Tong, p76
Toen ik in mijn jeugd gepest werd en constant werd lastiggevallen door perverse mensen, vond ik mijn troost in koken en lekker eten. Het is de reden dat ik nog leef. Er zijn nu wel meer dingen bijgekomen waardoor ik voel dat ik leef.
“Mensen, die gelukkig zijn, eten geen chips.”
– Tong, p195
Dit is zo grappig om te lezen, omdat ik tijdens mijn stressvolle periodes een grote zak chips helemaal leeg at. Nu het iets beter met me gaat, besef ik dat ik nauwelijks nog chips eet. Ik zag het niet voor mogelijk, maar een handje chips vind ik nu genoeg.
Kortom, het iseen goed boek, dat de belevingswereld van een jonge vrouw, die dacht dat zealles bezat waar ze naar wenste, maar alles in korte tijd kwijtraakt, mooiweergeeft. Liefde, eten, en seks zijn in dit boek onlosmakelijk met elkaarverstrengeld. Tevens worden de verwarrende gevoelens tijdens en na seksueelmisbruik goed beschreven en je begrijpt beter waarom mensen hun mond houden en doorgaan met hun leven alsof er niets is gebeurd.
Het boek is vaag over wat er daadwerkelijk is gebeurd met Seyon. Er wordt verteld over hoe het leven is voor mensen zonder tong, dat ze speciaal een anatomie boek heeft gekocht (om haar in leven te houden of om als een echte kok met de perfecte techniek het ingrediënt in handen te krijgen?), en ze werd ook wakker van een vreemd huilerig geluid. Maar er wordt ook vaak in het boek gesproken over aarde, waar dingen zich een weg naar boven boren en in verrotten, wat een mogelijke verwijzing is naar iemand begraven. Ook leer je dat het vlees lekker mals is, wanneer een beest doodgeslagen wordt en het liefst zo vers mogelijk is.
Het fijne aan dit wraak verhaal is dat de hoofdpersoon ook een goed einde voor haarzelf heeft gepland. Meestal zijn de mensen die wraak willen nemen, al zo kapot gemaakt dat ze een laag zelfbeeld hebben en in zo’n uitzichtloze situatie zitten, waar ze niets lijken te hebben om te verliezen. Daarom loopt het zowel voor de slechteriken, als voor hen slecht af. We weten natuurlijk niet of ze er echt mee weg kan komen,maar het einde voelt als een pure overwinning.
-
-
Party Wave's
[Spanish]Sólo haz lo que deberías hacer y serás más feliz
Rut MandiolaCHILE
2023.10.18.
Para quiénes se adentren por primera vez con la literatura coreana o esta es su primer acercamiento a cualquier producto cultural relacionado a Corea del sur fuera de los dramas o el kpop, sin conocen en absoluto su cultura, jerarquía social o relaciones interpersonales, muy probablemente les puede parecer un poco chocante y hasta axfisiante la lectura de esta novela, que en lo personal he encontrado sumamente realista y capaz de hacerte sentir incómodo como occidental respecto al personaje principal y narrador de esta.
Kim Hye Jin posee una pluma sumamente realista y una perspectiva respecto a las ideas tradicionalistas de su país sumamente crítica, siendo una autora joven y bastante comprometida con sus ideales, llevándonos a sacarnos las vendas respecto a ideas preconcebidas debido a los productos culturales tan populares entre generaciones más jóvenes en occidente, mostrándonos una realidad que quizás es poco amable y un tanto difícil de entender, la de mantener una cultura ultraconservadora en un país altamente tecnologizado, y cuál es el peso de ser diferente en un lugar donde se premia el no resaltar.
En esta novela se nos presenta a una madre coreana en sus 60 años, viuda y madre de una chica en sus iniciales 30, la cuál es profesional, emancipada, con una vida fuera del seno familiar, que a simple vista nos podría parecer el ideal, pero que en todo este relato su progenitora nos hace ver lo inutil que es esta, de que solo le provoca vergüenza, que no es capaz de hacer algo con su vida, que es egoísta y terca, dentro de muchas cosas, también en sus primeras páginas pese a presentarla nos oculta bastante de ella, como si no desease que entremos a conocer más allá de lo que vemos por fuera de esta,sin siquiera mencionar su verdadero nombre, simplemente quiere que nos llevemos esa impresión que nos deja la madre y nadie más.
Adentrarse en las páginas de este libro puede ser un choque realmente duro para los lectores, principalmente porque la autora representa el diario vivir, sin endulzarlos acontecimientos, va directo a ellos sin tapujo y nos deja ver con claridad los pensamientos, ideas y constructos sociales en la mente de la madre y con quienes interactúa, por lo que mediante sus ojos conocemos a una sociedad sumamente conservadora como la del Corea del sur, su día a día, y como el individualismo y el qué dirán es lo que rige la vida de sus ciudadanos.
Bajo mi perspectiva, esta novela posee dos grandes tramas de las cuáles se desligan varias temáticas, todas ellas gravitando entre las principales y desde la madre. Por un lado tenemos la más evidente, la relación madre-hija totalmente fracturada, no solo por la diferencia generacional, que es bastante clara, sino también por el hecho de que su madre no es capaz de aceptar lo que su hija realmente es y como ha comenzado a vivir su vida adulta, siendo una profesora universitaria a trato, lesbiana y con una pareja estable hace 7 años, pareja que esta madre invisibiliza y culpa de todas las desgracias en la vida de esta.
Esta relación es constantemente tensa, con poco intercambio de palabras pesé a mantener comunicación, causando un mayor choque cuando nos enteramos de los problemas económicos de la hija que llevan a ambas a tener que volver a convivir en el mismo espacio a ambas, incluyendo a Green, la pareja de su hija, quién pese a los constantes insultos en la convivencia que comienzan a tener siempre muestra respeto e intenta tener una buena relación con nuestra protagonista, pese a las dificultades que poco a poco vemos vislumbrar en la vida de ambas chicas.
Por otro lado nos encontramos de cara a la realidad de la tercera edad, ya que la madre es una cuidadora geriatrica en una residencia de ancianos, en dónde, gracias a sus pensamientos y vivencias, podemos ver como son tratadas las personas mayores en estos lugares, que si no traen recursos a la institución son prácticamente desechables, siendo Jen, la anciana con demencia senil a la cuál cuida nuestra protagonista, el mayor ejemplo de este, ya que se nos presenta como una mujer que en su juventud se dedicó al área académica y humanitaria, envejeciendo sin familia, por lo que su cuidadora poco a poco ve a su hija reflejada en esta, generando un vinculo bastante fuerte que en un comienzo es un poco inentendible.
A medida que pasamos las páginas vamos poco a poco conociendo las ideas de esta mujer, quién prefiere mantener el status quo que revelarse respecto a los comportamientos, ideas e injusticias que puede ver a su alrededor, mostrando un espíritu conformista que choca con el de su hija, una joven idealista que está dispuesta a sacrificar incluso su estabilidad laboral por sus convicciones, manteniendo constantemente esta dualidad en la narrativa, en la cuál podemos ver en situaciones cotidianas como la homofobia y la misoginia se encuentra muy arraigada en el actuar colectivo.
Así mismo toda esta situación comienza a llevar a cierto límite a la madre, especialmente luego de dos eventos que logran hacerle entender un poco mejor el mundo de su hija e ideales.
Vuelvo a insistir que no es una lectura fácil de abordar, pero creo firmemente en que es sumamente necesaria. Mientras leía este libro, y de entre muchas frases que llamaron mi atención, este párrafo en particular llamó mi atención y resumió perfectamente para mí lo que quizás muchos padres que han crecido en lugares conservadores pueden llegar a pensar al encontrarse que sus hijos no son lo que ellos esperaban:
“Al pensar en mi hija, pasó horas atrapada en este tipo de divagaciones. Me pregunto si estoy pagando alguna culpa, si le habré heredado algún mal.— Sobre mi hija, p19”.
Este tipo de pensamiento pueden invadir a muchos padres en este momento, y la lectura de esta novela puede ser el primer paso a comprender a sus hijos y ver reflejados sus propios miedos, y al igual que la protagonista, quizás no puedas entender a tu hijo o hija, pero sí comenzar a abrir un espacio al diálogo desde el amor y el respeto que todos los humanos merecemos.
-
-
Party Wave's
[Spanish]¿Quién creó al monstruo?
Angela MartiSPAIN
2023.10.18.
«Las heridas convierten a las personas en monstruos.1»
Ciertamente, existen pocas cosas más desconcertantes que la mente humana. ¿Qué es capaz de retener? ¿Por qué retiene ciertos recuerdos? ¿Por qué otros los omite, los entierra o los olvida? ¿Qué ocurre en la mente para que ciertas personas asesinen a otras sin remordimientos? ¿Qué significa la psicopatía para la mente?
Seon-gyeong da la bienvenida a su vida a dos nuevas personas de forma imprevista: una es la hija de su marido y la otra, un psicópata condenado a muerte. Ambas esferas de su vida, personal y profesional, se verán alteradas por la incursión de estas personas. Primero, porque el comportamiento de ambas es demasiado similar. Segundo, porque ella se niega a ver las similitudes. Pero la venda no podrá mantenerse para siempre sobre sus ojos.
Aunque la mayor parte del libro la vivimos a través de los ojos de Seon-gyeong, ella no es la única protagonista de la historia. El teniente Yu, aun siendo un personaje casi anecdótico, será el que abra la historia. Se intercalan los relatos de Lee Byeong-do y Ha-yeong con los de la propia psicóloga. Seo Mi-ae pretende que conozcamos la historia desde todos los ángulos. Para que, de esta forma, en el juicio que emitamos de cada personaje, se tengan en cuenta todos los detalles.
Seon-gyeong es una psicóloga criminalista que ha cursado parte de sus estudios en Estados Unidos. Es una persona quizá no muy perspicaz dada la profesión que ejerce. Trata de entender todo aquello que ocurre a su alrededor, pero mantiene cierto punto de ingenuidad. Esta ingenuidad solo provocará que se dé cuenta de las cosas una vez han ocurrido. Y eso significa que ya es tarde. Demasiado tarde. Estos rasgos suyos contrastan con los de Lee Byeong-do y Ha-young, dos personas más minuciosas, más atentas a los detalles, más analíticas. Saben manipular las situaciones para controlarlas y que les sean favorables. Son meticulosas y, en todo momento saben lo que hacen y lo que quieren. Actúan con un objetivo fijo por el que no se van a rendir.
Esta historia hace plantearse al lector muchas preguntas sobre el origen de estas personas. ¿Habrían sido distintas de haberse criado en otro ambiente? ¿Son las circunstancias determinantes para el desarrollo de este tipo de trastornos? O en cambio, ¿se nace así? ¿Hay algo que podamos hacer al respecto? ¿No hay remedio posible?
«Nadie nace porque quiere, pero vivir o dejar de hacerlo es algo que depende de la voluntad de cada uno.2»
Instintivamente desde el momento en el que nacemos buscamos la supervivencia. Es más cercano al instinto animal que a una decisión voluntaria. Pero sí es decisión de aquellas personas que se encargan de que lleguemos al mundo. Por ello, es una responsabilidad suya. Aunque no siempre se toma de esta forma. He ahí donde reside el mayor problema, cuando las personas no son consecuentes y, por lo tanto, terminan siendo descuidados, negligentes, abusadores o maltratadores en los casos más extremos. El único uso que hacen de su posición de poder es infringir trauma tras trauma a los que, se supone, deben proteger. No existe, ni profesa, ni un atisbo de afecto. En Byeong-do vemos este contraste de ambientes de crianza. Frente a los gritos y los insultos, la calidez de una madre que lo acepta todo. Frente a la tormenta, calma. Frente al caos, estabilidad.
Así como Byeong-do, Ha-young tampoco lo ha tenido fácil. Una niña de once años que, a pesar de tenerlo todo, no tenía nada. Ha sufrido rechazo, instrumentalización, dolor. Es una niña que en cualquier otro caso se hablaría de ella como una persona fuerte o valiente. Una niña sorprendentemente consciente de su alrededor y de las consecuencias que tienen los, sus, actos. Ciertamente madura para su edad. Aunque, en vez de llamarlo madurez, deberíamos hablar de lo que son: traumas. Su voz al narrar queda lejos de la inocencia infantil o preadolescente que caracteriza esas edades. Su presencia en la trama es enriquecedora. Porque nos permite ver una evolución no solo en su personaje, sino también en el de Seon-gyeong.
La trama, aunque no es excesivamente compleja, es atractiva para el lector de thriller. La autora tiene un estilo que permite a cualquier lector en general acercarse a la historia y, de alguna forma, sumergirse en una situación lejos de lo cotidiano sin perder la sensación de realismo. Sin perder conexión con la realidad.
Es una historia que te hace tener el impulso de comprobar si la puerta está bien cerrada, y no de mirar debajo de la cama. Los monstruos se mueven entre nosotros, caminan a nuestro lado, tienen las apariencias más inocentes y mundanas. Ya no se esconden dentro de los armarios ni te cogen los tobillos por las noches si sacas un poco la pierna de la cama. Y la realidad es que nunca lo hicieron.
La única pregunta que nos queda hacer es: ¿cómo se construye un asesino?
«¿Le darías un abrazo a este monito con las manos llenas de sangre? ¿Me lo darías?3»
1“Hija única” pág 210
2“Hija única” pág 315
3“Hija única” pág 226
-